Transformasi Ekonomi Ekstraktif Nikel Pada Kendaraan Listrik Menuju Pembangunan Ekonomi Inklusif

Senin, 22 Mei 2023 17:56 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Iklan

Penggunaan nikel sebagai bahan baku kendaraan listrik menjadi pokok. Namun penyediaan bahan baku tersebut akan terbentur pada masalah lingkungan, terutama industri ekstraktif. Hal ini diperlukan paradigma baru untuk mengubah cara pandang pembangunan ekstraktif menjadi lebih inklusif.

Indonesia kini terjebak dalam pengaruh kebijakan pembangunan ekonomi ekstraktif. Strategi warisan pemerintah kolonial Belanda ini membuat lingkungan menjadi rusak, dan memicu konflik yang mengorbankan masyarakat adat dan komunitas lokal. Sementara hasil dari ekonomi ekstraktif ini tentu saja menjadi salah satu penyebab terjadinya krisis iklim dengan mengeruk sumber daya alam seperti tambang dan lahan.  Hal itu dilakukan dengan sebuah skema yang lebih mencemaskan karena eksploitasi itu didelegasikan kepada industri. Ini  mendorong terciptanya hubungan mutualisme antara bisnis dan kekuasaan. Akibatnya masyarakat lokal di sebuah wilayah yang tereksploitasi menjadi tersisih dan kehilangan ruang untuk hidup. 

Idealnya pembangunan yang dilakukan oleh sebuah negara harus menjamin kesamaan dan keadilan yang menghormati sekaligus memelihara keberagaman masyarakat. Itulah sesungguhnya esensi paling dasar dalam pembangunan ekonomi inklusif. Konsensus untuk mencapai pembangunan ekonomi inklusif setidaknya harus ditopang tiga pilar utama, yaitu, pertama maksimalnya kesempatan ekonomi, kedua adanya jaminan sosial, dan ketiga tersedianya akses yang sama terhadap kesempatan ekonomi.

Ketiga pilar ini menegakkan sebuah konsensus bahwa pembangunan yang digerakkan oleh negara harus didasarkan pada komitmen untuk mendorong pertumbuhan, megurangi kemiskinan, buta huruf, beban utang, mencegah penyebaran penyakit, kesetaraan gender. Selain itu juga harus menjaga kelestarian lingkungan.

Polusi Kendaraan Listrik

Elektrifikasi menjadi strategi untuk mengurangi polusi udara di daerah padat dengan tujuan mengurangi Gas Rumah Kaca karena hampir seperempat CO2 dihasilkan dari sektor transportasi, dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden (PEPRES) No 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) maka untuk Transportasi Jalan lahir guna menjadi program untuk mengganti bahan bakar fosil dengan kendaraan listrik.

Pertumbuhan pasar kendaraan listrik ini juga didukung dengan kemampuan sumber daya bijih nikel yang melimpah di Indonesia, dan nikel merupakan bahan baku utama dalam baterai lithium ion. Nikel dan kobalt dalam bentuk limonite tersebar dalam beberapa pulau yang ada di Indonesia seperti Sulawesi, Kalimantan, Halmahera dan Papua. Data dari United States Geological Survey (USGS) menunjukkan pada Januari 2020 dan Badan Geologi 2019 menyatakan bahwa Indonesia memiliki 72 juta ton nikel atau setara dengan 52 persen dari total cadangan nikel dunia sebesar 139.419.000 ton.

Nikel menjadi salah satu komponen utama dalam pembuatan baterai mobil listrik. Tidak heran pemerintah berkeinginan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam tersebut. Nikel sulfat (NISO4) bermanfaat sebagai bahan prekursor katoda baterai litium atau baterai kendaraan listrik. Namun kebutuhan akan mineral tersebut sangat terbatas dan apabila di eksploitasi (penambangan) berlebihan menyebabkan kerusakan lingkungan. Selain itu meningkatnya konsumsi baterai tentunya akan menyebabkan semakin banyaknya baterai bekas yang akan dibuang ke Lingkungan. Hal ini tentunya akan mengakibatkan beban cemaran logam berat pada lingkungan, sekaligus penurunan kualitas lingkungan. Limbah baterai merupakan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah yang meliputi emas, perak, tembaga, nikel, minyak dan gas bumi, batu bara dan lain-lain.

Di Indonesia, dapat ditemukan daerah-daerah yang terkenal akan banyaknya kandungan Nikel khususnya di Sulawesi Tenggara Salah satu tempat yang memiliki potensi sumber daya mineral khususnya nikel adalah Morosi, Kabupaten Konawe, yang masuk ke dalam wilayah konsesi tambang nikel milik PT Vale Indonesia yang seluas 118.017 hektar. Ironisnya, mayoritas masyarakatnya yang mengandalkan tanah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga adanya pengklaiman wilayah adat oleh korporasi tentu saja berimbas pada kesejahteraan mereka. Kegiatan pertambangan nikel yang terletak di Kabupaten Konawe juga berpotensi menimbulkan pencemaraan air hingga kerusakan lingkungan. Potensi kerusakan lingkungan yang terjadi diakibatkan kegiatan pertambangan yang dilakukan di sekitar kawasan hutan sehingga dapat menyebabkan pencemaran di Daerah Aliran Sungai (DAS). Hutan lindung terbabat menjadi tambang nikel akibat aktifitas pertambangan dan Sungai Konawe merupakan salah satu sungai yang berpotensi tercemar oleh aktifitas pertambangan. Sungai tersebut digunakan oleh masyarakat sebagai sumber alternatif air bersih sehingga sangat memegang peranan penting bagi kepentingan hidup orang banyak terutama bagi masyarakat yang hidup di sekitarnya.

Problem Industri Ekstraktif

Salah satu penyumbang utama kerusakan lingkungan dan pencemaran di Indonesia adalah kegiatan industri ekstraktif pertambangan. Industri ekstraktif tidak hanya merusak namun juga memusnahkan ekosistem lingkungan hidup yang ada di sekitar pertambangan. Eksploitasi yang dilakukan sudah mengarah pada tindakan pemusnahan sumber-sumber kehidupan. Tindakan ini secara langsung maupun tidak langsung berkaitan erat dengan praktik penghilangan hak-hak asasi manusia, khususnya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Berdasarkan data dari Bagian Dukungan Pelayanan Pengaduan Komnas HAM, pada 2020 Komnas HAM menerima 21 aduan dugaan pelanggaran HAM di sektor pertambangan. Bahkan selama Januari hingga April 2021 sudah ada 12 aduan dengan mayoritas pengadu melaporkan adanya kerusakan lingkungan, perampasan lahan, kriminalisasi, hingga yang memakan korban jiwa. Fenomena eksploitasi di sektor pertambangan bagaikan gunung es yang hanya terlihat di bagian permukaannya saja. Aktivitasnya yang berdampak luas kepada lingkungan dan masyarakat sering kali tidak terekspos dan tidak dipahami masyarakat yang ternyata hak-haknya telah tercerabut.

Sepanjang 2014-2020 JATAM mencatat sebanyak 116 konflik pertambangan dan kasusnya meningkat dari tahun ke tahun. Antara 2019 dan 2020 terjadi lonjakan peningkatan yang signifikan, yakni selama 2019 tercatat ada 11 konflik dan di 2020 bertambah menjadi 45 konflik pertambangan. Sisi yang lain, masyarakat adat pun korban pilu dari aktivitas pertambangan yang ada di Indonesia. Masyarakat adat hidup bergantung pada alam dan hutan tempat mereka berdiam. Namun dengan adanya konsesi pertambangan membuat mereka terusir. Bahkan jika nanti peruntukan lahannya dikembalikan lagi pun tidak akan dapat dipergunakan seperti sediakala karena bentang alamnya sudah berubah.

Transformasi Menuju Pembangunan Inklusif

Pembangunan industri ekstraktif terhadap nikel tentu saja akan menimbulkan dampak yang tidak kecil, hal tersebut kemungkinan juga akan ditunjang pada peningkatan pemenuhan jumlah kendaraan listrik dalam sepuluh tahun ke depan, dimana kendaraan berbasis baterai ini menggunakan bahan dasar nikel. Itu artinya akan banyak kebutuhan nikel yang diambil dari pertambangan untuk produksi baterai. Untuk mendapatkan nikel akan banyak membuka lahan tambang, penggalian tanah, hingga proses pembuatan dari bahan mentah menjadi siap pakai, dan hal ini juga memiliki resiko memunculkan kerusakan pada alam.

Untuk itu kita perlu membawa paradigma baru yang lebih komprehensif ke depan. Dalam suasana yang lebih modern, ketika manusia merindukan adanya perubahan perilaku, terutama yang berhubungan dalam mengawal kerusakan alam, di samping itu juga perlu seimbang dalam menanggapi resiko yang dihadapi seperti perubahan iklim, dan juga kepentingan-kepentingan lain, dimana di satu sisi juga mencegah timbulnya perpecahan atau konflik interest karena keadaan kurangnya pemahaman terhadap arti penting lingkungan.

Ketika merawat sebuah jalan yang baik, maka sesusungguhnya hasilnya pun juga akan mampu mencukupi kebutuhan hidup setiap manusia. Menyadari akan pentingnya sumber daya alam yang terkandung di dalam perut bumi Indonesia. Maka hilirisasi dari industri tambang merupakan implementasi dari pemanfaatan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat sesuai dengan UUD 1945, Pasal 33. Seperti kita ketahui nikel dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan warga, hal tersebut tidak dipungkiri bahwa faktanya investasi nikel akan memberikan dampak positif bagi perekonomian, terutama daerah penghasil nikel, tentu dengan beberapa syarat.

Melalui pembangunan yang inklusif, sebagai penggerak ekonomi masyarakat membutuhkan tenaga baru untuk memproduksi masal bahan tambang nikel sebagai menu utama kebutuhan pembuatan baterai kendaraan listrik, hal ini tentunya harus dipahami sebagai sebuah langkah melalui cara hilirisasi akan meningkatkan pencapaian indikator pembangunan ekonomi, seperti misalnya pendapatan masyarakat, kesejahteraan, konsumsi rumah tangga, dan juga membuka lapangan kerja. Dan memastikan bahwa semua kelompok masyarakat yang terpinggirkan bisa terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan.

Saat ini Indonesia perlu melakukan tranformasi ekonomi ekstraktif yang merusak menjadi pembangunan ekonomi inklusif yang lebih respek terhadap alam dan kehidupan manusia. Apabila Indonesia secara konsisten mengembangkan ekonomi inklusif yang dipadukan dengan hilirisasi industri, maka kemanfaatan sumber daya alam bagi kesejahteraan masyarakat akan terwujud, dan tentu saja perlu ada kesinambungan antara pihak pemerintah dan pengusaha industri, dimana dalam kebijakannya memiliki tiga komponen penting dalam pondasi utamanya, antara lain ; pertama negara harus menjamin hak-hak politik, sosial, dan kewarganegaraan, kedua semua warga negara harus memiliki akses yang sama ke semua program kesejahteraan, dan ketiga semua populasi juga harus mempunyai peluang yang sama terhadap akses pelayanan publik.

Dalam paradigma ini, perluasan aksesibilitas dan kualitas infrastruktur harus lebih diutamakan dibandingkan dengan perbaikan infrastruktur itu sendiri. Karenanya, infrastruktur yang mampu memberikan peran sebagai katalis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif adalah jenis infrastruktur yang mampu memberikan akses secara merata terhadap masyarakat untuk mendapatkan pelayanan air bersih, sanitasi, listrik, dan pendidikan, sehingga mendorong masyarakat mengembangkan kehidupan sosial ekonomi mereka. Alhasil dengan kondisi sosial masyarakat yang tercukupi, pemenuhan kebutuhan kendaraan listrik yang digadang-gadang sebagai salah satu alternatif penggerak motor perubahan iklim mampu terpenuhi tanpa bayang-bayang ekstraksi nikel yang merusak alam.

#LombaArtikelJATAMIndonesiana

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler